Bismillah. Assalamu'alaikum sobat An-Nuur. Tak terasa waktunya tiba. Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu tiap peserta. Yup, p...

 

 5 Fantasy Football Trophy Ideas to Award Your Winner | Trophies Plus Medals
 
 Bismillah.
Assalamu'alaikum sobat An-Nuur.
Tak terasa waktunya tiba.
Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu tiap peserta.
Yup, pengumuman lomba.
Berikut nama-nama peserta dengan naskah terbaik dan berhak mendapatkan hadiah.
 
Juara 1: Restu Sri Rahayu
Juara 2: Daffa Abimanyu
Juara 3: Agam Pemungkas
 
Juara Harapan:
Suci Insan Muslimah
Ananta Ardyansyah
Khadijah Afifah Malaikah
 
Selamat kepada para pemenang.
Baarakallahu fiikum.
Dan buat teman-teman yang belum disebutkan namanya, tetap semangat!
Tetaplah berdakwah di jalan Allah!
Ingat, pemenang sebenarnya bukanlah mereka yang paling banyak meraih pundi-pundi rupiah.
Melainkan mereka yang tetap konsisten memperbanyak amal ibadah dan jauh dari dosa sehingga bisa menapakkan kakinya di surga.
Dan ingat, kita dakwah jangan asal dakwah. Semua kalimat yang kita serukan haruslah dilandasi Al-Qur'an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman salaful ummah.

Umat Islam dimanjakan dengan keutamaan-keutamaan sangat agung yang tidak dinikmati oleh umat-umat sebelumnya. Keistemewaan besar yang mer...

Umat Islam dimanjakan dengan keutamaan-keutamaan sangat agung yang tidak dinikmati oleh umat-umat sebelumnya. Keistemewaan besar yang mereka rengkuh dari Allâh Azza wa Jalla berupa kitab suci terbaik, rasul yang paling utama, ajaran syariat sempurna sekaligus menutup dan menjadi timbangan bagi ajaran-ajaran para rasul terdahulu. Maka, tidaklah mengherankan bila umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan umat terbaik sepanjang zaman.
Karunia-karunia besar di atas menjadi menjadi indikator kuat akan kesempurnaan Islam dengan segenap petunjuk dan ajarannya. Dengan demikian, bila seseorang komitmen menjalankan petunjuk-petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan petunjuk-petunjuk Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia pun otomatis berada di atas petunjuk yang sempurna menuju jalan yang lurus, jalan yang mengantarkan menuju keridhaan Allâh Azza wa Jalla dan kebahagiaan abadi.
Seiring perjalanan waktu, muncul berbagai macam perkara baru dalam Islam yang lebih dikenal dengan istilah bid’ah. Sesungguhnya keberadaan bid’ah-bid’ah hanya menciderai kesempurnaan syariat Islam saja yang telah disampaikan oleh Nabi akhir zaman, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bila sifat kesempurnaan sudah melekat kuat dengan syariat Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengapa ada ajaran, ritual atau acara-acara baru dalam agama? Bukankah secara logis, terjadi kontradiksi antara ini dan itu ?!
HADITS PALSU, SALAH SATU SUMBER BID’AH
Salah satu sumber munculnya ‘ibadah baru’ adalah tersebarnya apa yang dinamakan dengan Hadits Palsu ( الْحَدِيْثُ الْمَوْضُوعُ ) . Meski menyandang embel-embel kata ‘hadits’ di depannya, namun ia bukanlah hadits nabawi dari sisi manapun. Sebagaimana kita memahami berita dan kata yang palsu itu sebagai berita dan kata yang dusta dan tidak pernah ada. Demikian pula halnya dengan Hadits Palsu, suatu perkataan dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits Maudhu’ (Hadits Palsu) merupakan jenis hadits lemah dan tertolak yang paling buruk. Imam al-‘Irâqi (wafat 806H ) rahimahullah mengatakan dalam Alfiyyatul Hadîts :
شَرُّ الضَّعِيْفِ الْخَبَرُ الْمَوْضُوْعُ – الْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ
Seburuk-buruk hadits lemah adalah hadits palsu
Kedustaan yang diada-adakan lagi dibuat-buat
Maka, membawakan Hadits Palsu kepada orang lain, dengan mengajarkannya, menyampaikannya atau apalagi mengajak orang untuk mengamalkannya tidak boleh. Sebab, hakekatnya mengajarkan kedustaan atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya dalam satu kondisi saja, seseorang boleh menyampaikan Hadits Palsu, yaitu bila ditujukan untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa itu adalah Hadits Palsu, agar tidak diamalkan.
Bila sudah diketahui bahwa Hadits Palsu, bukan dari Rasulullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang yang mengamalkannya telah bertaqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sesuatu yang tidak pernah disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan kata lain, ia tengah melakukan bid’ah.
Karena, cara bertaqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla harus mengikuti petunjuk syariat dalam sisi: (1) adanya dalil yang menunjukkan pensyariatan ibadah tersebut dan (2) mengikuti tata caranya.
Syarat yang berhubungan erat dengan pembahasan kita kali ini adalah syarat pertama yang maksudnya adalah ibadah tersebut berlandaskan dalil syar’i yang shahih. Syaikh Muhammad al-Jîzâni hafizhahullâh menyebut, pelanggaran terhadap syarat ini di antaranya tampak pada ibadah yang berdasarkan Hadits yang dusta (Hadits Palsu). [1]
Hal ini berdasarkan kaidah:
كُلُّ عِبَادَةٍ تَسْتَنِدُ إِلَى حَدِيْثٍ مَكْذُوْبٍ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ بِدْعَةٌ
Setiap ibadah yang bersandar pada hadits yang didustakan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hukumnya bid’ah.[2]
Kaedah penting ini berlandaskan satu asas penting dalam Ushuluddin, yaitu bahwa sesungguhnya prinsip dasar dalam ibadah-ibadah adalah tauqîf. Pengertiannya, hukum-hukum syariat dan ibadah-ibadah tidak terbangun kecuali dengan dalil-dalil yang shahih dari al-Qur`ân dan Sunnah. Sedangkan hadits-hadits yang dipalsukan atas nama Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dari Sunnahnya, maka mengamalkannya membuat si pelaku terjerumus dalam bid’ah, sebab hal itu merupakan pensyariatan yang tidak diperkenankan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Imam Ibnu Dihyah rahimahullah memperingatkan dalam kitabnya Mâ Jâ`a fî Syahri Sya’bân, “Wahai hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla, berhati-hatilah terhadap pendusta yang meriwayatkan kepada kalian satu hadits yang ia kemukakan untuk menerangkan satu kebaikan. Mengamalkan suatu kebaikan hendaknya merupakan hal yang disyariatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila telah diyakini (riwayat itu) merupakan kedustaan, maka keluar dari bingkai perkara yang ditetapkan syariat…”. [3] .
BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DALAM IBADAH
Al-Khalîl bin Ahmad rahimahullah memaknai kata bid’ah secara bahasa kamus dengan mengatakan:
إِحْدَاثُ شَيْئٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلَا ذِكْرٌ وَلَا مَعْرِفَةٌ
‘(Bid’ah adalah) mengadakan sesuatu yang baru yang tidak pernah dibuat, disebut maupun diketahui sebelumnya’.
Maka, dengan merujuk makna etimologi kata bid’ah sebagaimana disebutkan oleh al-Khalîl bin Ahmad rahimahullah di atas, maka ibadah-ibadah yang terkandung dalam Hadits Palsu itu tidak pernah ada sebelumnya, juga tidak pernah ada yang menyinggung, maupun mengetahuinya sebelumnya.
Berikut Ini Beberapa Contoh Ibadah Yang Berlandaskan Hadits Palsu:
1. Hadits Palsu tentang keutamaan surat-surat al-Qur`an satu persatu.[4]
2. Hadits Palsu tentang shalat raghâib.[5]
3. Hadits Palsu tentang shalat di malam Nishfu Sya’bân.[6]
PENUTUP
Bertolak dari kepalsuan informasi yang dikandung sebuah Hadits Palsu, maka sudah otomatis jika perintah, larangan, keutamaan dan hakikat yang termuat di dalamnya tidak boleh dibenarkan dan dipercayai. Sebagaimana seorang Muslim tidak boleh mempercayai kebenaran satu berita yang telah diketahui kepalsuannya, apalagi sampai melaksanakan kandungannya.
Wallâhul Hâdi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Qâ’idu Ma’rifati al-Bida’i hlm. 66, 68-69.
[2]. Lihat al-Bâ’its hlm.55-57, al-I’tishâm 1/224-221, Ahkâmul Janâiz hlm. 242. Nukilan dari Qâ’idu Ma’rifati al-Bida’i DR. Muhammad al-Jîzâni, ad-Dârul Muttahidah, Cet.I/Th.1423, hlm. 68.
[3]. Dikutip Abu Syâmah dari al-Bâ’its hlm.127. Lihat ‘Ilmu Ushûli al-Bida’i hlm. 155.
[4]. Al-Manâru al-Munîf 113-115.
[5]. Tanzîhu asy-Syarî’ah 2/89-94.
[6]. Al-Manâru al-Munîf 98-99


Sumber: https://almanhaj.or.id/4111-hadits-palsu-salah-satu-sumber-bidah-dalam-ibadah.html

Oleh Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga...

Oleh Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan tentang tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga pembahasan kali ini bermanfaat.

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى

“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.

Hadits pertama:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwaMaimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullahmengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullahmengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhadisebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhamengatakan,

كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ

“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,

أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambilair dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ

“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,

سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟

Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secaramarfu’ dan mauquf[8])

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.[9]

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,

فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ

“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:

Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.

Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]

Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau terakhir).

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.

[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Fathul Bari, 1/360.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.

[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.

[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.

[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.

[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61

[9] Idem.

[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.

Dikutip langsung dari website resmi http://arrisalahfm.com/.     Ar-Risalah FM, Medan : Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam As-Sunnah...


Dikutip langsung dari website resmi http://arrisalahfm.com/.
   Ar-Risalah FM, Medan : Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam As-Sunnah Deli Serdang al-Ustadz Irham Dongoran, Lc, penuhi undangan dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam rangka hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 bersama para hafidz atau penghafal al-Quran dari seluruh Indonesia di Markas Besar TNI Cipayung Jakarta Timur, Kamis,(17/8).
Al-Ustadz Irham Dongoran, Lc. yang merupakan Dosen Tetap dan Kepala Markas Pengembangan Al-Quran STAI As-Sunnah Deli Serdang turut hadir memenuhi undangan dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, hal ini dikarenakan ustadz Irham Dongoran, Lc. tercatat sebagai penghafal qur’an yang pernah mengharumkan nama baik Negara Indonesia di Dunia Internasional dengan mengikuti musabaqoh Tafsir Qur’an bahasa arab Tahun 2008 di Mesir mendapatkan predikat Harapan tiga. Selain itu beliau juga mendapatkan juara dua dalam musabaqoh Tafsir Qur’an bahasa arab Tahun 2010 di Maroko.
Ustadz Irham mengungkapkan, “ Dalam pertemuan para hafidz Qur’an bersama Panglima TNI yang dilaksanakan pada pukul 17:00 WIB dan bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2017 ini terdapat berbagai acara, diantaranya membaca al-Quran 30 juz dalam waktu satu jam dan dilanjutkan dengan doa bersama untuk Indonesia agar menjadi bangsa yang lebih kasih sayang antar sesama warganya. Selain dihadiri para hafidz atau penghafal Qur’an dari seluruh Indonesia, pertemuan itu juga dihadiri oleh para ulama dan tokoh masyarakat, dengan total undangan yang hadir berjumlah 8.500 orang yang berkumpul pada satu titik yaitu di Markas Besar TNI Cipayung Jakarta Timur.”.
Pertemuan bersama Panglima TNI itu juga dijadikan sebagai ajang reuni bagi para penghafal Qur’an yang telah berjasa dan mengharumkan nama baik dalam musabaqoh tilawatil qur’an dan hifdzil qur’an di tingkat Dunia Internasional. Maka, pertemuan ini juga akan selalu ditinjau dan ditindak lanjuti kedepannya demi menjaga hubungan ukhuwah antar penghafal Qur’an dengan umara (pemimpin) Negara Indonesia demi kejayaan ummat Islam.
Dikutip langsung dari website resmi http://arrisalahfm.com/.

بسم الله الرحمن الرحيم Diantara tanda-tanda kiamat adalah wafatnya Nabi  صلى الله عليه وسلم. Dijelaskan dalam hadist 'Auf bin Malik...


بسم الله الرحمن الرحيم

Diantara tanda-tanda kiamat adalah wafatnya Nabi  صلى الله عليه وسلم. Dijelaskan dalam hadist 'Auf bin Malik رضي الله عنه , dia berkata, "Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda :

اعدد ستّاً بين يدي الساعة موتي....

"Ingatlah (wahai 'Auf) ada enam (tanda) sebelum datang nya hari kiamat, Kematianku...."
( Shahiih bukhori, kitab al-jizyah wal Muwaada'ah )

   Kematian nabi  صلى الله عليه وسلم adalah musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Dunia terasa gelap dalan pandangan Sahabat رضي الله عنهم ketika beliau  صلى الله عليه وسلم wafat.
Anas bin Malik رضي الله عنه berkata :

 " Di hari kedatangan Rasulullah  صلى الله عليه وسلم ke Madinah segala sesuatu bercahaya, lalu ketika tiba hari wafatnya segala sesuatu menjadi gelap, dan tidaklah kami selesai menepuk-nepukkan (membersihkan debu) tangan karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم - ketika kami menguburnya- sehingga kami mengingkari hati kami (tidak menemukan keadaan seperti sebelum nya)."
( HR : at-Tirmidzi dalam Jaami'at at Tirmidzi, bab-bab al-Manaaqib (X/87,tuhfatul Ahwadzi), )

Ibnu Hajar رحمه الله تعالى berkata, " Maksudnya adalah mereka mendapati hati-hati mereka berubah dari yang mereka rasakan ketika masih bersama Rasulullah  صلى الله عليه وسلم berupa keharmonisan, kejernihan, dan kelembutan. Hal itu karena mereka telah kehilangan segala hal yang diberikan oleh beliau berupa pengajaran dan pendidikan."

(Fat-hul Baari (VIII/149).

Dengan wafatnya beliau terputuslah wahyu dari langit , sebagaimana disebutkan dalam jawaban Ummu Aiman رضي الله عنها kepada Abu Bakar dan 'Umar رضي الله عنهما ketika mereka berdua mengunjungi setelah Nabi  صلى الله عليه وسلم wafat. Sesampainya mereka berdua padanya, dia menangis, lalu keduanya bertanya,

"Apa yang membuatmu menangis ? Segala sesuatu yang ada disisi Allah lebih baik bagi RasulNya." Kemudian ia menjawab "Aku tidak menangis karena aku tidak tahu bahwa apa-apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, akan tetapi aku menangis karena sesunggugnya wahyu dari langit telah terputus." Hal itu mennjadikan keduanya menangis, kemudan keduanya (Abu Bakar dan Umar ) ikut menangis bersamanya."

(Shahiih muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, bab Fadhaa-ilu Ummi Aiman (XVI/9-10,syarh an-nawawi).)

  Nabi  صلى الله عليه وسلم telah meninggal sebagaimana manusia lainnya meninggal karena Allah tidak menetapkan kekekalan bagi seorang makhlukpun di dunia ini . Dunia ini hanya tempat persinggahan bukan tempat untuk menetap, sebagaimana difirmankan oleh Allah تعالىٰ
Allah SWT berfirman:

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّنْ قَبْلِكَ الْخُـلْدَ   ۗ  اَفَاۡئِن مِّتَّ فَهُمُ الْخٰـلِدُوْنَ(٣٤)
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ  وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً  ۗ  وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ(٣٥)
"Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia sebelum engkau (Muhammad); maka jika engkau wafat, apakah mereka akan kekal?
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami."
(QS. Al-Anbiya 21: Ayat 34- 35)

Juga ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa kematian adalah haq (benar), dan setiap yang berjiwa pasti mati, walaupun dia seorang pemimpin para makhluk dan pemimpin orang-orang yang bertaqwa, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

   Kematian beliau sebagaimana diungkapkan oleh al-Qurthubi, "perkara pertama yang menimpa Islam... kemudian setelahnya adalah kematian 'Umar. Dengan kematian Nabi صلى الله عليه وسلم wahyu menjadi terputus , dan matilah kenabian. Kematian beliau adalah awal munculnya kejelekan dengan Murtadnya orang-orang Arab, juga yang lain nya. Dan kematian beliau merupakan awal terputusnya kebaikan juga awal berkurangnya.

   Abu Bakar ash-shiddiq رضي الله عنه berkata :

" فلتحد ثنّ حوادث من بعده         تعنىٰ بهنّا جوانح و صدور

" Maka sungguh akan terjadi berbagai peristiwa setelahnya, yang menyibukkan fikiran dan melelahkan."

Shafiyyah binyi 'Abdil muththalib رضي الله عنها berkata :

لعمر ك ما أبكي لفقده     ولكن ما أخشىٰ من الهرج آتيا

"Demi Allah, tidaklah aku menangis karena kehilangannya, akan tetapi karena aku takut pembunuhan yang akan datang setelah."

(At-Tadzkirah,karya al-Qurthubi (hal.629-630) dengan sedikit perubahan, lihat al-Idzaa'ah karya Shiddiq hasan, hal.67-69).

Note : Wallahu, apa yang dikatakan para Salaful ummah diatas memang terjadi , setelah wafat nya Rasulullah dan Abu bakar begitupun Umar , muncullah  fitnah-fitnah yang menyibukkan fikiran dan melelahkan , dimulai dari Pembunuhan Umar bin khattab radhiallahu 'anhu, terbunuh nya ustman bin affan oleh para pemberontak , terjadi nya perang jamal, perang shiffin dan munculnya fitnah perpecahan lain nya (syiah dan murji'ah)
        wallahu ta'ala alam .

Ana salin dari kitab Asyraathus saa'ah Karya syekh Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

Insyaa Allah bersambung

Sunilmahendra Almaydani

بسم الله الرحمن الرحيم Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebagian besar dari tanda-tanda Kiamat telah muncul permulaannya pada z...


بسم الله الرحمن الرحيم

Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebagian besar dari tanda-tanda Kiamat telah muncul permulaannya pada zaman Sahabat رضي الله عنهما, dan terus bertambah , kemudian menjadi semakin banyak disebagian tempat sementara ditempat lain nya tidak demikian , dan yang menjadikannya sempurna (dari tanda-tanda tersebut ) adalah dengan datangnya kiamat.
    Sekarang saatnya kita mulai membahas tanda-tanda kecil Kiamat, yaitu sebagai berikut :

1. Diutusnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم

   Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengabarkan bahwa diutusnya beliau merupakan pertanda dekatnya kiamat, dan beliau صلى الله عليه وسلم dijuluki dengan Nabiyyus Saa'ah.

      Dijelaskan dalam hadist dari Sahl رضي الله عنه , dia berkata, " Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

بعثت أنا و السّاعة كهاتين، ويشير بإصبعيه فيمدّ هما

" Jarak diutusnya dan hari kiamat seperti dua (jari) ini." Beliau memberikan isyarat dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya."

( HR: Imam Bukhori dalam Shahiih al-Bukhori kitab ar-riqaaq bab Qaulin Nabiyyi Bu'itstu was Saa'atu kahaataini ,347, al- Fath)

Dan diriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim dari Abu Jubairah secara marfu' :

بعثت في نسم الساعة.
" Aku diutus pada awal hembusan angin Kiamat ( awal tanda-tanda kiamat)."

 (HR: Ad-daulabi didalam al-kunaa (I/23), dan Ibnu Mandah dalam al-Ma'rifah (II/234/2), Syeikh al-Albani mengatakan, " shahih" ).

  Jadi tanda kiamat yang pertama kali adalah diutusnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Beliau adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi lain setelahnya, yang ada hanya kiamat sebagaimana jari telunjuk dan jari tengah, diantara keduanya tidak ada lagi jari lain atau panjang salah satunya melebihi yang lain, hal ini sebagaimana diriwayatkan at-Tirmidzi :

بعثت أنا و السّاعة كهاتين، وشار أبو داود با السّبّابة والوسطىٰ، فها فضّل إحدا على الأخرى .

" Jarak antara diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua (jari)ini ." Abu dawud memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dia tidak melebihkan panjang salah satunya (kecuali hanya sedikit).

( jaami'at at-Tirmidzi, bab Maa jaa-a Fii Qaulin Nabiyyi Bu'itsu Ana was Saa'ah ka Haataini (VI/459-460), dan beliau berkata, " hadist hasan shahih" )

  Al-Qurthubi رحمه الله berkata, " Tanda Kiamat yang pertama adalah diutusnya Nabi صلى الله عليه و سلم ، karena beliau adalah Nabi akhir zaman dan beliau telah diutus sementara tidak ada lagi Nabi diantara beliau dan hari Kiamat " ( At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa' wal Muwaada'ah, bab Naa Yuhdzaru minal Ghadr).

Allah تعالى berfirman :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ  وَلٰـكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ  ۗ  وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ  عَلِيْمًا
"Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 40).

Ana salin dari kitab Asyraathus saa'ah Karya syekh Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

Insyaa Allah bersambung

oleh : Yulian Purnama Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal ya...




oleh : Yulian Purnama

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’
Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Ataupun juga gambar foto[1]. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala. Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ
orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ
orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ
barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga hadits lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ مُصوِّرٍ في النَّارِ ، يُجْعَلُ له بكلِّ صورةٍ صوَّرها نفسٌ فتُعذِّبُه في جهنَّمَ
semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua hadits-hadits ini melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak. Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut[2]. Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya“.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/11106
__
Catatan kaki
[1] Terdapat perselisihan di antara para ulama mengenai hukum gambar foto. Simak penjelasan Syaikh Abdullah As Sulmi di sini.
[2] Ini menunjukkan para sahabat ijma bolehnya menggambar benda yang tidak memiliki ruh.
***
Penerjemah: Yulian Purnama

penulis :  Yulian Purnama Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan naseh...




penulis : Yulian Purnama

Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي
Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata:
أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil
Imam Abu Hanifah berkata:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه
Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)
Imam Asy Syafi’i berkata:
أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس
Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang  masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik berkata:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه
Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi berkata,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
  • Hadits Bara’ bin ‘Adzib:
    أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ، وَالْمَغْرِبِ
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)
  • Hadits dari Muhammad bin Sirin:
    سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ: «بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا»
    Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
  • Hadits Anas bin Maalik:
    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
  • Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
  • Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
  • Hadits Anas bin Maalik:
    قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
    Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
  • Hadits Abu Hurairah:
    “Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:
    اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
    Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)
  • Hadits Abu Malik Al Asyja-‘i
    عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
    Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
  • Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:
    سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال : ما شعرت ان احدا يفعله
    Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
  • Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
  • Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:
  • Hadits Jabir bin Abdillah:
    أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ»
    Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)
  • Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
    يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
    Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:
  • Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
  • Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka.
  • Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
  • Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam
Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.
Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
  • Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
    لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
    Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)
  • Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
    أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَل بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَل مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
    Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)
  • Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
    لاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
    Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhis 3/157)
Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
  • Hadist dari Abu Hurairah:
    كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره
    Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
  • Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:
    بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك
    Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)
Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang fundamental, diantaranya:
  • Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:
    أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
    Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
    Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
    مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
    Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
  • Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
  • Para ulama bersepakat atas kaidah:
    لا قياس ف  إثبات العبادة
    Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
    Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
  • Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
  • Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
  • Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
  • Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi
  • Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan Maulid Nabi
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Yulian Purnama

dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى...

dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ
“Rabb kami Tabaaraka wa Ta’aalaa turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’”
Shahih al-Bukhari (VIII/197) Kitaabut Tauhiid dan Shahih Muslim (I/521) kitab Shalaatul Musaafiriin.

Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan حفظه الله تعالى



Hadits tentang turunnya Allah (an-nuzuul) ini merupakan hadits-hadits yang mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mustahil mereka berdusta -pent). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sebanyak 29 Sahabat Radhiyallahu anhum yang meriwayatkan hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini.

(Mukhtasharush Shawaa-iq al-Mursalah (II/232).)






ibnulyaman.blogspot.com

 Oleh : Abu khadijah Almaydani Bismillahirahmanirrahiim Ada sedikit polemik ditengah umat islam pada masa kini tentang bolehkah memba...

Gambar terkait
 Oleh : Abu khadijah Almaydani

Bismillahirahmanirrahiim
Ada sedikit polemik ditengah umat islam pada masa kini tentang bolehkah membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang..? Bukan dengan menggunakan makanan pokok.
Pembahasannya silahkan kunjungi link ini..
https://konsultasisyariah.com/7001-zakat-fitrah-dengan-uang…
Yang ingin ana bahas adalah tentang hikmah. Allah menetapkan syariatNya dengan sangat sempurna melalui RasulNya tentu memiliki hikmah yang dapat ditangkap oleh orang orang yang menggunakan akalnya untuk tunduk pada dalil dalil shahih yang dikemukakan para ulama yang melarang zakat fitrah dibayarkan dengan uang.
Sebagaimana yang disabdakan Nabi Shalallahu'alaihiwasallam
Orang yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya , Allah mudahkan ia memahami agama ini (islam)
(HR Mutafaqun Alaihi)
Sebagaimana sering difirmankan Allah didalam Al Quran...
Dan diantara tanda tanda kebesaran Allah adalah petunjuk bagi orang orang yang berakal / mau berpikir.
Yaa Ulil Albab..
HIKMAH ZAKAT FITRAH DENGAN MENGGUNAKAN MAKANAN POKOK.
1. Sebagai ujian ke imanan bagi hamba hambaNya untuk tidak menyelisihi syariat Islam yang telah diatur Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥ ٓ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِينًا
wa maa kaana limu`miniw wa laa mu`minatin izaa qodhollaahu wa rosuuluhuuu amron ay yakuuna lahumul-khiyarotu min amrihim, wa may ya'shillaaha wa rosuulahuu fa qod dholla dholaalam mubiinaa
"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 36)
2. Dijaman Rasul Sudah ada uang berupa kepingan emas dan perak bernama dinar dan dirham.
Logikanya jika zakat fitrah dibolehkan diganti dengan uang, tentulah Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam yang paling tahu kebaikan dan keutamaannya.
Logika sederhana
1 dinar = 4 gram emas = Rp 2 juta rupiah @Rp 500000,/ gram emas.
Jika saja bisa ditukar dengan uang tentu Nabi Shalallahu'alaihiwasallam bisa menetapkan
Misalnya zakat fitrah dengan 1 dinar perjiwa. Maka jika ada 4 jiwa dalam satu keluargq maka ada 4 dinar jika satu dinar emas 2 juta maka 4 dinar 8 juta rupiah.
Zakat diberikan kepada fakir miskin dibagi 4, maka tiap satu keluarga miskin dapet 2 juta rupiah.
Maka ini lebih baik dijadikan zakat ketimbang 1 sha beras atau gandum yang beratnya hanya 2.5 kg - 2.7 kg.
Maka logika manusia pasti milih uang dinar. Dengan 2 juta udah bisa beli stok beras untuk 3 bulan kedepan.
Ini logika manusia yang membuang dalil dan memikirkan nafsunya saja. Dan beranggapan bahwasanya dinar lebih baik dari pada makanan pokok.
Tapi tidak dengan nabi Shalallahu'alaihiwasallam, mengapa Allah perintahkan makanan pokok. Walau Rasulullah tahu dinar lebih baik dari gandum tapi Rasulullah patuh dan taat pada Allah. Bahwa Allah lebih tahu apa yang baik untuk hambaNya. Ilmu kita gak cukup untuk menakar ilmu Allah.
Ingat kaidahnya
Jika perkara itu baik, tentu Rasulullah dan sahabat orang pertama yang membayar zakat fitrah dengan uang karena pada masa itu sudah ada dinar dan uang.
3. Hikmah berikutnya adalah, zakat fitrah dengan menggunakan makanan pokok adalah bentuk kasih sayang Allah pada hamba hambaNya.
Allah tahu, jauh lebih tahu watak asli manusia. Jika disyariatkan menggunakan uang untuk bayar zakat fitrah maka akan rawan penyelewangan. Bayangkan 1 dinar itu dimasa Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam sama dengan 2 juta rupiah.
Seandainya diterapkan bahwasanya zakat fitrah dengan dinar.
Demi Allah tidak akan sanggup sebagian saudara kita yang muslim untuk menunaikan zakat fitrah.
Misalnya syariat islam menetapkan
1 jiwa zakatnya 1 dinar maka 4 jiwa 4 dinar yang artinya seorang kepala keluarga harus mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya dan keluarganya sebesar 8 juta rupiah...
Kalau dirinya kaya...?
Kalau dia miskin kerjanya cuma buruh...
Jangankan 8 juta, mengeluarkan uang 1 juta aja untuk keperluan lebaran seperti masak rendang, thr anak dan baju raya udah megap megap nyarinya. Bahkan sampai ada yang merampok jadi begal demi mendapatkan uang raya untuk anak istri. Itu baru 4 orang anggota keluarga 1 istri dan 2 anak. Bagaimana jika banyak anak dan orang tua juga dalam tanggungan kita ?
Mungkin nanti ada yang ngeles, "ya tolak ukurnya jangan dinarlah, mahal sekali".
Lalu mereka membuat konversi..
1 sha makanan pokok = 4 mud
4 mud = 2.5 - 2 7 kg (tergantung jenis makanan pokoknya)
Maka dibuatlah konversi
2.5 kg - 2.7 kg = sama dengan Rp 25000 dan Rp 27000.
Nah dikalikan 4. Kita ambil hitungan
25 rb x 4 = Rp 100 rb.
Maka satu orang fakir miskin mendapatkan uang 100 ribu dari zakat 4 jiwa .
Pertanyaannya 100 ribu sekarang bisa beli apa ?
Dibawa jalan jalan ke monas aja udah kandas.
Inilah kasih sayang Allah pada hamba hambaNya..
Allah tidak mensyariatkan uang sebagai alat pembayar zakat fitrah...
Jika menggunakan uang
100 ribu itu akan dipakai untuk sia sia...
Untuk hura hura
Untuk beli barang tidak bermanfaat seperti mainan atau mercon.
Bahkan kadang uang itu bisa diselewengkan oknum untuk kantong pribadinya.
Bandingkan jika dengan beras
4 jiwa x 2.5 kg = 10 kg.
10 kg beras itu bisa jadi stok 2 minggu makanan pokok bagi sebuah keluarga miskin yang terdiri dari 4 orang keluarga juga.
Berasnya lebih bermanfaat dimakan menjadi darah daging. Dan mengenyangkan perut serta mententramkan hati penghuni rumah tangga penerima zakat bahwasanya stok beras mereka aman untuk 2 minggu kedepan. Sehingga jika ia bekerja maka uang yang harusnya dipakai beli beras bisa ditabung. Untuk menambah biaya sekolah anak yang mungkin menunggak.
Dan juga kita mensejahterahkan para petani yang berasnya dibeli bulog untuk stok zakat. Hari raya petani senang berasnya laris, si miskin juga senang setidaknya ada stok makanan mereka selama 2 minggu. Mereka kenyang dan senang..
Inilah lembutnya syariat Allah kepada hambaNya ,
Wallahu'alaamu antum laa ta'lamuun
(Dan Allah maha mengetahui sedang kamu sama sekali tidak tahu)
Dan jika mereka bersikeras menggunakan uang untuk zakat maka tidak boleh nominal uangnya disetarakan dengan harga makanan pokok.
Karena jika ada dalilnya secara shahih menggunakan uang untuk membayar zakat fitrah maka harus memakai konversi dinar dan dirham.
Dan jika itu dipakai jadi acuan maka zakat fitrah menjadi horror dan menyusahkan kepala rumah tangga. Mereka akan berat membayar zakat fitrah.
Padahal islam itu agama yang memudahkan bukan memberatkan.
Bayangkan jika satu kepala keluarga menanggung 4 jiwa yang harus dibayar seharga dinar. Itu biayanya 8 juta rupiah.
Akan banyak orang mengambil jalan pintas demi mencari uang raya.
Maka pertanyaannya..
Prasangka siapakah yang lebih baik jika berhadapan dengan Ilmu Allah...?
Prasangka manusia atau ilmu Allah yang jauh lebih baik ?
Zakat fitrah dengan menggunakan makanan pokok adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kelemahlembutan Allah pada hambaNya.
Maka bertasbilah memuji nama Rabbmu yang maha agung.
فسبح بسم ربك العظيم
Fasabbih bismika rabbikal'adzhiim
Assalammu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh