Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan. Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang ...

PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN (MADARIJUS AS SHALIKIN, IBNU QAYYIM)

Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan.
Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam
surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi,
kecuali siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan
iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta
menyempurnakan kekuatan selainnya dengan nasihat kepada kebenaran
dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah iman dan
amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan nasihat.
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar dia
mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan diri-nya dari
kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan
kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi ke-maslahatan
hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke
jalan lurus.
Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna Al-Fatihah,
menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini,
berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang sesat dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan kepada Allah,
kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana dan
tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mewakili kedudukan surat
Al-Fatihah ini.
Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam Taurat, Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang tinggi. Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki ti-ga nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan rujukan Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi porosnya. Surat Al-Fatihah menjelaskan ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah.
Iyyaka na'budu merupakan bangunan di atas Ilahiyah, Iyyaka nasta'in di atas
Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam IlahiyahNya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmatNya.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pembalasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam
hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang
semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa dilihat dari beberapa segi:
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin. Dengan kata lain, tidak layak
bagi Allah untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia
dan telantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan mudharat di dunia dan di akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan dipertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal sesembahannya kecuali lewat para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mencegah-Nya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan
kesempurnaan yang harus mereka cari. Dzat yang diberi asma ArRahman tentu memiliki tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih besar daripada
tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati
dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah
akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas
keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa
seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak
lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyaka na'budu. Beribadah kepada Allah tidak
boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepadaNya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah
ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan
penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim. Hidayah adalah
keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti dan
keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada
bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan
taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di
dalamnya. Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan
kebe-naran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global.
Dari sini dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan
permo-honan ini jika dia dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan
keba-tilan orang yang berkata, "Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu
untuk apa kita memohon hidayah?"
Kebenaran yang belum kita ketahui
jauh lebih banyak dari yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita
kerjakan karena menganggapnya remeh atau malas, sebenarnya serupa
dengan apa yang kita inginkan atau bahkan lebih banyak. Sementara
kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Siapa yang menganggap
hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidayah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguhan dan
berkesinambungan. Memohon hidayah mencakup permohonan untuk
mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang lurus. Tapi
jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal: Lurus,
menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satusatunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu cirinya yang lurus,
karena garis lurus merupakan jarak yang paling dekat di antara dua
titik, sehingga ada jaminan untuk menghantarkan ke tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan
mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.
Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka
manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi
nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang mengetahui kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang mengetahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada yang
menentangnya. Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat
rahmat, dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang ber-manfaat
dan amal yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang
mengetahui kebenaran namun mengikuti hawa nafsunya, maka dia
adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak
mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat
murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang
tersesat mendapat murka karena kesesatannya dari ilmu yang harus
diketahuinya dan amal yang harus dikerjakannya.
Masing-masing di antara keduanya sesat dan mendapat murka. Tapi orang yang tidak beramal berdasarkan kebenaran setelah dia mengetahui kebenaran itu,jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih layak mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui kebenaran lebih pas disebut orang yang sesat, dan inilah sifat yang
layak diberikan kepada orang-orang Nashara, sebagaimana firmanNya,

"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus'. "(Al-Maidah: 77).
Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal
kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat At-Tirmidzy
dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Orang-orang Yahudi
adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah orang-orang yang sesat." Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah.
Sedangkan pelaku kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan
kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang
diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu
adalah nikmat yang mutlak dan yang mendatangkan keberuntungan
yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak terbatas diberikan kepa
da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk ada dalam
nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang pertanyaan,
"Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah tidak?" Nikmat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan ketidakterbatasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir. Inilah
makna firman-Nya,
"Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim: 34).
2.. Allahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firmanNya,
"Dan, apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya)." (An-Nahl: 53).
Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga
murka kepada musuh-musuh Allah.
3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang
mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang
yang mendapat nikmat. Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat kepada mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping kesempurnaan nikmat pahala.
Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua
perkara ini.
Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga
mencakup dua perkara:
- Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa
dan pelecehan.
- Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya. Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada ke jahatan dan kesesatan yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orangorang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai konsekuensi dari kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan murka dan
kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan
yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang
mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman
Allah,
"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit". (Thaha: 124).
Yang kedua seperti firman Allah,
"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan
merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 5).
Ash-Shirathul-Mustaqim
Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan
diketahui secara jelas, karena ada lam ta'rif dan karena ada keterang-an
tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti
jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka
dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya,
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya."
(Al-An'am: 153).
Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan
lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud
berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di
hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian be-liau
menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini
adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada syetan yang
mengajak kepadanya'. Kemudian beliau membaca ayat, 'Dan bahwa...'."
Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu,
yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan
kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada Allah kecuali lewat jalan
ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka berbagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu. itu terkunci.
Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang pernah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada
Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini disebutkan di dua tempat dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus." (Hud: 56).
"Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban ataspenanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu
dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia beradapula di
atas jalan yang lurus?" (An-Nahl: 76).
Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala
yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang
justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan
penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di
tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka
mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan
dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada
di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya?
Perkataan Allah benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya
penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil. Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka lebih mem-prioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara Al-Kalby berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus." Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathulmustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada di atas ash-shirathul-mustaqim.
Jika ada yang mengatakan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
menyuruh kepada keadilan", berarti beliau berada di atas ash-shirathulmustaqim. Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. Allah berada di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah.
Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk menggambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah shalallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau berada di atas ash-shirathul-mustaqim.
Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari
sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan
lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendiri-an
dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah juga mengingat-kan
tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak
dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu
rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitarnya karena dia sendi-rian saat meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbe-da dengan orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah
golongan minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan se-bagian
salaf, "Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang orang yang mengikuti jalan ini.
Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu
karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya." Jika engkau meniti
jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan
menoleh ke arah mereka sekalipun mereka memanggil-manggilmu, karena
jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat
perjalananmu. Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permohonan yang paling tinggi nilainya, maka Allah mengajarkan kepada hambahamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya,
kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya.
Jadi ada dua macam tawassul dalam doa:
1. Tawassul dengan asma' dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.
Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua tawassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling penting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya
layak dikabulkan.
(MADARIJUS AS SHALIIKIN, PENDAKIAN MENUJU ALLAH, Hal 17-24).

Semoga bermanfaat.
Written by : Andy J.P.M

0 komentar:

kalau ada salah atau ada yang ditanyakan silahkan komen